Bulan September adalah bulan dimana banyak terjadi kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia. Maka sering kali keluarga korban kejahatan HAM dan aktivis menyebut bulan September sebagai “bulan hitam” untuk Indonesia. Penyebutan “bulan hitam” tentu cukup beralasan mengingat penegakan hukum di bidang HAM yang tak kunjung diselesaikan negara.
Sejumlah peristiwa kejahatan kemanusiaan yang terjadi di bulan hitam ini seperti: tragedi pembantaian 1965-1966, tragedi Tanjung Priok 1984, tragedi Semanggi II 1999, pembunuhan Munir 2004 dan aksi Reformasi Dikorupsi September 2019.
Tragedi 1965-1966 adalah pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis. Berdasarkan hasil penyelidikan tanggal 1 Juni hingga 30 April 2012, Komnas HAM memeriksa sebanyak 349 saksi yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia (Surat Komnas HAM No. 001/PTH-65/i/11). Laporan tersebut mengungkapkan bahwa jumlah korban dalam tragedi 65-66 adalah 500.000 hingga tiga juta jiwa.
Pengungkapan kasus ini terkendala akibat tidak bersedianya orang-orang dari unsur pemerintah untuk dimintai keterangan, tidak adanya persetujuan dari Jaksa Agung dan Pengadilan untuk melakukan pemeriksaan lapangan, seperti locus tindak pidana, kuburan massal, dan lain-lain.
Tragedi Tanjung Priok terjadi pada tanggal 12 Sebtember 1984. Kasus ini juga termasuk dalam kejahatan terhadap HAM yang melibatkan aparat negara. Tragedi Tanjung Priok setidaknya menelan korban jiwa sebanyak 24 orang. Korban-korban tersebut meninggal akibat bruatalitas aparat (menembak dengan senjata api) dan 55 orang lainnya luka-luka berdasarkan laporan Komnas HAM 11 Oktober 2000.
Berdasarkan laporan yang dirilis Komnas HAM tersebut setidaknya terdapat 23 oknum TNI yang terlibat dalam penyerangan terhadap warga Tanjung Priok. Yang pada saat itu melakukan aksi demonstrasi untuk membebaskan empat warga Tanjung Priok yang ditahan di Kodim Jakarta Utara. Serupa dengan kasus pelanggaran HAM pada umumnya, Tragedi Tanjung Priok juga belum berujung penyelesaiannya.
Pada 24 September 1999, bulan September kembali menambah kejahatan terhadap kemanusiaan, yakni melalui kasus “Semanggi II”. Tragedi Semanggi sebetulnya merujuk kepada dua aksi yang berbeda dalam hal waktu, yakni Tragedi Semanggi I pada 11-13 November 1998 dan Semanggi II. Upaya penyelesaian kasus pelanggaran ini oleh Komnas HAM dijadikan satu paket, berbarengan dengan kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Setidaknya satu orang mahasiswa tewas dan 11 orang lainnya di Jakarta, serta menyebabkan 217 korban luka-luka. Upaya penyelesaian kasus ini lagi-lagi menemui jalan buntu. Hal itu diperparah dengan pernyataan Jaksa Agung (ST Burhanuddin) yang melakukan rapat kerja dengan DPR RI pada 16 Januari 2020, merujuk pada hasil Rapat Paripurna DPR tahun 2001, Ia menyebut bahwa Tragedi Semanggi I dan II bukanlah pelanggaran HAM berat.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut nyatanya bertentangan dengan temuan Komnas HAM. Di mana Komnas HAM telah menyerahkan laporan hasil penyelidikan pro-justitia kepada Kejaksaan Agung, dengan temuan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan benar-benar terjadi dalam kasus Semanggi I dan II sehingga Komnas HAM merekomendasikan pembentukan pengadilan HAM ad-hoc, namun sampai detik ini tidak pernah terlaksana.
Munir bin Thalib ialah aktivis HAM yang mati dibunuh di udara. Siapa sangka dalam perjalanan Munir ke Amstedam pada 7 September 2004 menjadi perjalanan terakhirnya. Ia tewas dua jam sebelum pesawat mendarat di Bandara Schipol, Amsterdam Pukul 08.10 waktu setempat.
Hasil otopsi yang dilakukan oleh kepolisian Belanda dan Indonesia menemukan bahwa Munir tewas akibat racun arsenik. Setelah melewati serangkaian proses hukum baik dari kepolisian dan kejaksaan, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 12 Desember 2005 memutus Pollycarpus (seorang anggota pilot Garuda) 14 tahun penjara karena terbukti melakukan pembunah berencana.
Lama waktu berselang kini pembunuh menghirup udara bebas, namun pembunuhan Munir masih menyisakan banyak misteri. Banyak kalangan yang percaya bahwa Pollycarpus bukanlah aktor utama dalam peran pembunuhan ini. Ada aktor intelektual yang mempunyai peran penting dalam pembunuhan Munir, yang kalau diungkap, dipercaya akan membuka kotak pandora dan mengantarkan kita kepada pemahaman bahwa kasus ini bukan sekadar kasus pidana biasa.
Tim Pencari Fakta (TPF) kasus Munir bentukan Susilo Bambang Yudoyono telah lama selesai bekerja, namun temuan-temuan TPF tersebut tidak kunjung dibuka ke publik. Padahal Pengadilan Keterbukaan Informasi Publik (KIP) telah memerintahkan Kementerian Sekretariat Negara untuk membuka temuan TPF pembunuhan Munir kepada publik. Namun bukannya menjalankan putusan Pengadilan KIP, Kemensesneg malah melakukan banding dan seolah ingin terlepas dari tanggung jawab kelembagaannya.
Aksi Reformasi Dikorupsi September 2019 juga menyisakan persoalan HAM. Tim Advokasi untuk Demokrasi yang terdiri dari beberapa LSM yang bergerak di bidang HAM mendapat 390 aduan kekerasan yang dilakukan oleh aparat yang tersebar di berbagai wilayah di Indoensia. Kekerasan terhadap mahasiswa dan pelajar dilakukan di lapangan maupun di dalam sel tahanan.
Padahal secara tegas baik dalam UUD 1945 dalam Pasal 28 I maupun dalam International Covenant on Civil and Political Rights yang diratifikasi Indonesia menjadi UU No. 12 Tahun 2005, mengaskan bahwa setiap Individu memiliki hak untuk tidak disiksa dalam keadaan apapun.
Di sisi lain setidaknya terdapat lima korban meninggal dunia dalam aksi ini. Dan dua diantaranya (M Yusuf Kardawi dan Randi) meninggal saat melakukan aksi di depan gedung DPRD Sulawesi Tenggara yang diduga kuat ditembak oleh aparat kepolisian. Ironi upaya proses hukum terhadap polisi tersebut hanya melalui sidang etik saja yang dilaksanakan oleh Propam. Padahal secara jelas terdapat unsur pidananya.
Prospek Penegakan Hukum HAM yang Semakin Buram
Harus diakui bahwa kabut penegakan hukum HAM di Indonesia semakin pekat. Telihat dari tidak ada satu pun kasus pelanggaran HAM, baik pelanggaran HAM masa lalu (sebelum di undangkannya UU No. 26 Tahun 2000) dan pelanggaran HAM masa kini (setelah diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000) yang dapat diselesaikan oleh negara dengan cara berkeadilan.
Secara tegas dalam Pasal 28 D ayat (1) UDD 1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kepastian hukum yang dimuat dalam pasal tersebut tentu memiliki alasan filosofis dan bukan tanpa alasan.
Bahwa yang dapat menyelenggarakan keadilan dan kepastian hukum adalah negara melalui alat-alat kelengkapannya. Maka negaralah yang seharusnya hadir sebagai central power yang dapat menegakkan hukum tanpa peduli siapa yang melakukan pelanggaran hukum.
Di negara hukum seperti Indonesia (Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945) sehurusnya praktik-praktik penegakan hukum yang tebang pilih tidak dipelihara. Dalam kaitannya dengan penegakan hukum HAM, praktik seperti ini sangat jelas terlihat. Kita dapat melihat berdasarkan laporan-laporan yang disampaikan oleh Komnas HAM kepada Kejaksaan Agung, terdapat nama-nama jenderal yang telibat dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Namun bukannya diadili, mantan jenderal-jenderal tersebut saat ini diakomodir oleh Presiden Jokowi di lingkungan kekuasaan, baik sebagai Wantimpres maupun sebagai Menteri. Hal ini tentu membuat prospek penegakan hukum HAM kita kembali harus dipertanyakan.
Karena perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama Pemerintah (Pasal 28 I UUD 1945). Maka kita dapat melihat kontradiksinya, bagaimana amanat UDD 1945 tersebut tidak diindahkan Presiden Joko Widodo sebagai kepala pemerintahan.
Bagi penulis penegakan hukum di bidang HAM harus segera dilaksanakan oleh negara. bukan hanya karena ada jiwa-jiwa dalam setiap pelanggaran tersebut, melainkan juga karena “pengakuan terhadap hak asasi manusia” adalah konsekuensi ketika Indonesia memilih sebagai negara hukum.