Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 212 “letusan” konflik agraria sepanjang tahun 2022, mencakup 1.035.613 hektar lahan dan 346.402 keluarga terdampak. Jumlah tersebut meningkat drastis dibandingkan konflik lahan yang terjadi pada 2021 yang sebanyak 500.062 hektar dan 198.895 keluarga terdampak.
Konflik tersebut terakumulasi dari berbagai kasus pertanahan yang terjadi akibat operasional beberapa perusahaan di sektor infrastruktur 32 kasus, properti 26 kasus, pertambangan 21 kasus, kehutanan 20 kasus, fasilitas militer 6 kasus, pertanian 4 kasus dan pulau-pulau kecil 4 kasus.
Maraknya konflik tanah berdampak signifikan pada menyempitnya ruang hidup masyarakat, mengingat hak kepemilikan atas tanah dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat adalah hak warga negara yang dijamin oleh UUD 1945.
Intensitas pembangunan infrastruktur termasuk pembangunan Proyek Strategis Nasional dan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur juga menyisakan beberapa problem pertanahan yang penting untuk diselesaikan menggunakan pendekatan hukum yang berkeadilan.
Di mana salah satu terobosan hukum yang digadang-gadang mampu mengantisipasi maraknya konflik agraria tersebut adalah dengan dirumuskannya “politik hukum land freezing”.
Politik hukum secara definitif diartikan sebagai legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. (Mahfud MD, 2009).
Disisi lain, politik hukum juga diartikan sebagai kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan perundang-undangan yang dikehendaki, yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan (Soedarto, 1986).
Tentu prinsip yang dijadikan dasar bertindak dalam pengimplementasian politik hukum di bidang agraria bukanlah berdasarkan prinsip dagang, tetapi suatu prinsip yang lebih tinggi, suatu pandangan hidup yang luhur yang termaktub dalam visi reformasi agraria sejati termasuk pendistribusian tanah ke seluruh rakyat Indonesia.
Politik hukum pertanahan haruslah selaras dengan tujuan nasional kehidupan berbangsa sebagaimana termaktub dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang kemudian diturunkan melalui pemberlakuan Undang-Undang Nomor 65 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
Politik hukum pertanahan dengan orientasi mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia di bidang pertanahan dimuat dalam Penjelasan Umum I UUPA yang secara substantif menegaskan bahwa UUPA meletakkan dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional yang merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan, bagi negara dan rakyat, terutama rakyat tani dalam rangka masyarakat adil dan makmur.
Maka dari itu, politik hukum land freezing apabila dikaitkan dengan amanat UUPA wajiblah dilakukan setidaknya atas tiga prinsip utama: 1) Berorientasi pada kemakmuran dan kebahagiaan rakyat; 2) Kesatuan dan kesederhanaan hukum; dan 3) Memberikan kepastian hukum di bidang pertanahan. Prinsip tersebut tentu juga harus ditopang dengan pembuatan kebijakan land freezing yang konsultatif, partisipatif, inklusif, transparan dan akuntabel.
Tren Masalah Tanah di Indonesia
Meningkatnya harga tanah di beberapa wilayah akibat maraknya pembangunan infrastruktur mendorong masyarakat berbondong-bondong menjual tanah dengan harga mahal sehingga berdampak pada hilangnya kepemilikan tanah warga tersebut.
Pada tahun 1990, kawasan Mandalika dengan harga tanah yang cukup murah sebesar Rp. 50.000-Rp. 350.000 atau setara dengan 100 meter persegi, hal ini disebabkan berdasarkan penatagunaan tanah jenis entisol di kawasan Mandalika hanya cocok diproyeksikan sebagai lahan pertanian pada musim kering, alhasil cenderung sulit dimanfaatkan secara maksimal.
Namun, ketika ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) juga kawasan penyelenggaraan MotoGP harga nilai tanah meningkat drastis mencapai Rp. 300.000.000 perare pada tahun 2018.
Contoh lain dialami juga oleh masyarakat Kalimantan Timur. Pemindahan Ibu Kota Negara berdampak pada meningkatnya harga tanah. Berdasarkan data yang dirilis Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Kalimantan Timur, peralihan hak atas tanah di Kaltim meningkat pasca diputuskannya pemindahan Ibu Kota Nusantara ke Provinsi Kalimantan Timur.
Pemindahan hak atas tanah dilakukan melalui perjanjian jual beli pada 175 lokasi di wilayah Ibu Kota Nusantara pada tahun 2020 yang kian meningkat signifikan pada tahun 2021 menjadi 294 transaksi yang tercatat.
Peristiwa yang patut dijadikan contoh untuk menggambarkan masalah yang ditimbulkan akibat mudahnya menjual tanah di objek pembangunan adalah yang dialami oleh warga Kecamatan Jenu, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Warga Kecamatan Jenu mendapatkan ganti rugi atas pembebasan lahan mereka yang terkena pembangunan Pertamina. Rata-rata ganti rugi yang didapatkan warga tersebut rata-rata sekitar Rp. 2.5 miliar. Nominal sebesar itu didapatkan karena pihak Pertamina membeli lahan milik warga Jenu dengan harga diatas rata-rata.
Satu tahun berlalu, tepatnya pada tanggal 24 Januari 2022. Warga Jenu melakukan unjuk rasa menuntut pihak Pertamina untuk memenuhi janji mereka merekrut warga yang kini menganggur. Beberapa orang yang terlibat aksi mengatakan kalau mereka sekarang bangkrut.
Kasus tersebut adalah satu dari banyak contoh masyarakat yang menjual tanah mereka dengan cepat dikarenakan adanya kenaikan harga tetapi justru menyesal karena kehilangan lahan pertanian/perkebunan untuk digarap.
Ganti rugi yang didapatkan oleh warga tidak dapat dimaksimalkan secara baik sehingga kesenangan akibat mendapatkan uang banyak hanya bertahan kurang lebih satu tahun, dan setelah itu penyesalan yang mereka dapat akibat tidak lagi memiliki lahan garapan untuk bertani atau berkebun.
Apakah Land Freezing Menjadi Solusi?
Land freezing sebagai satu model pembaharuan hukum di bidang pertanahan dapat menjadi salah satu alternatif untuk mengatasi penjualan tanah secara berlebih.
Kebijakan land freezing bertujuan untuk membatasi pengalihan hak atas tanah, mencegah spekulan tanah, dan okupasi dari mafia tanah di beberapa wilayah pembangunan nasional, sehingga pembangunan dan penyelenggaraan pembangunan oleh pemerintah yang dilakukan berdasarkan strategi yang matang dapat segera diaktualisasikan.
Land freezing diartikan sebagai “a legal restraint on the sale or transfer of land”. Artinya, terdapat pembatasan dalam melakukan penjualan atau perpindahan kepemilikan atas tanah.
Kebijakan land freezing sebetulnya sudah pernah diatur pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 jo. Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum mengatur pembekuan kegiatan administrasi pertanahan pada lokasi yang telah ditetapkan untuk pembangunan.
Apabila telah dilakukan penetapan terhadap tanah yang diproyeksikan sebagai lokasi pembangunan, melalui surat keputusan penetapan lokasi dari kepala daerah dalam hal ini Bupati/Walikota/Gubernur, pihak-pihak yang akan melakukan pembelian tanah harus mendapat persetujuan tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur.
Pengaturan land freezing sebetulnya berangkat dari peran negara dalam konteks hak menguasai negara sebagaimana Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, yaitu untuk: 1) mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; 2) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; dan 3) menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa.
Artinya, land freezing adalah konsep hak menguasai atas bumi, air dan ruang angkasa yang dilakukan oleh negara diperuntukkan untuk kesejahteraan masyarakat.
Apabila dikaitkan dengan kebijakan pembatasan pengalihan hak atas tanah (land freezing) dalam konteks pembangunan, artinya pembatasan tersebut tidak dimaksudkan untuk menghilangkan hak keperdataan pemilik tanah, namun kebijakan tersebut sebagai mekanisme kontrol guna menghindari pihak-pihak yang tujuannya mencari untung dengan cara membeli tanah warga di objek-objek pembangunan.
Perlu digarisbawahi bahwa konsep kebijakan pengendalian berupa pembatasan pengalihan hak atas tanah (land freezing) haruslah dilakukan dengan tetap menghormati kepemilikan masyarakat atas tanah termasuk tanah ulayat.
Pengaturan terkait land freezing ke depan perlu diatur secara komprehensif di dalam undang-undang karena terkait dengan pembatasan hak seseorang, selanjutnya perlu dirumuskan mitigasi risiko dalam rangka mencegah persoalan pertanahan muncul di kawasan pembangunan nasional yang menjadi incaran banyak pihak, mekanismenya adalah melalui perumusan kebijakan secara komprehensif di tataran undang-undang diikuti dengan pembentukan lembaga tertentu untuk melakukan pengawasan kebijakan land freezing.