Di balik hiruk pikuk perbincangan terkait pertahanan negara, saya teringat pepatah yang pernah disampaikan oleh Jhon F Kennedy, Presiden ke-35 Amerika Serikat “Jangan tanyakan apa yang diberikan negara kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu!”
Relevan atau tidaknya pernyataan tersebut, layak kita uji kaitannya dengan rencana pertahanan dan keamanan negara masa kini. Dan mudah-mudahan orientasi pembahasan tulisan ini juga akan bermuara pada pernyataan di atas.
Kita tau bahwa Kementerian Pertahanan dan Kementerian Pendidikan dan Kebuadayaan saat ini sedang mengkaji suatu program pendidikan militer yang akan diselenggarakan di dalam kampus.
Pendidikan militeristik yang diperuntukkan bagi mahasiswa ini, kemungkinan besar akan dimasukkan dalam kurikulum perukuliahan, yakni dalam Sistem Kredit Semester (SKS) mahasiswa. Isu tetsebutlah yang kemudian menimbulkan beragam persepsi dan kontroversi di ruang publik, juga termasuk bagi penulis.
Sejujurnya, penulis tidak menempatkan posisi di antara setuju maupun tidak terhadap program ini, karena penulis sudah semester lanjut (akan lulus “jalur” corona). Hal ini layak diserahkan sepenuhnya kepada mereka yang kemungkinan besar kelak terimplikasi jika program ini direalisasikan.
Namun walaupun demikian tidak menutup kemungkinan kalau kita juga harus menaruh perhatian terhadap isu-isu semacam ini. Hal ini tidak lebih untuk menghidupi kembali ruang demokrasi yang belakangan ini mulai direpresi.
Nah, pertanyaannya adalah, apa urgensi program pendidikian militer di ruang lingkup kampus? Dan mengapa penulis pesimis terhadap hal semacam ini dan mengatakan siapa peduli terhadap bela negara?
Memang terkesan amoral mengatakan hal demikian, namun terkadang untuk apa sopan bila ujungnya penindasan .Terkadang juga kita memerlukan keberanian untuk mengucapkan hal semacam itu, bukan karena didasari kebencian, melainkan karena wujud dari kemuakan atas justice yang sampai detik ini tidak dapat diselenggarakan.
Jangankan menyelenggarakan keadilan, menjaga harapan masyarakat agar tetap menyala (menanti keadilan) terkadang tidak dapat dilakukan negara. Kita bisa melihat beberapa kasus yang belakang ini terjadi, intimidasi dan kekerasan terhadap aktivis, perampasan tanah ulayat oleh korporasi yang melibatkan aparat.
Kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak berujung penyelesaiannya, yang mana pelakunya didominasi oleh unsur negara, dan segelumit persoalan lainya. Lalu apa yang kita ingin bela? Atau untuk apa kita membela?
Menakar Urgensi Penerapan Militer di Kampus
Kementerian Pertahanan berencana menggandeng Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk membuka kemungkinan diadakannya pendidikan militer melalui program bela negara di kampus.
Program pendidikan militer atau bela negara bagi mahasiswa ini, dibuat tidak lain untuk membangkitkan rasa “nasionlisme” sebagai bagian dari warga negara. Setidaknya alasan inilah yang dapat kita temukan apabila kita menelisik pernyataan-pernyataan yang disampaikan oleh Wakil Menteri Pertahanan, Sakti Wahyu Trenggono di berbagai media.
Secara harfiah bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara yang dijiwai kecintaannya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dalam menjalin kehidupan bangsa dan negara seutuhnya (Setjen Wantannas, 2018).
Berkaitan dengan alasan di atas, dapatlah kita asumsikan bahwa program ini muncul karena negara saat ini melihat semangat nasionalisme pemuda dan/atau mahasiswa sudah menurun, maka untuk menanggulangi merosotnya jiwa nasionalisme tersebut, diperlukan pendidikan bela negara bagi mahasiswa.
Lalu kita uji, jika memang program bela negara ini bertujuan untuk meningkatkan jiwa nasionalisme mahasiswa, penulis beranggapan bahwa saat ini pemerintah masih terjebak dalam kebanalan program kerja.
Karena nyatanya pemerintah belum bisa membuat suatu program kerja, yang benar-benar dapat mernagsang minat warga negara, agar secara sukarela mau terlibat dalam kerja-kerja pemerintah dalam kaitannya dengan bela negara.
Hal ini dibuktikan dari program alternatif yang diinisiasi oleh Kemenhan ini, tidak disambut baik oleh mahasiswa, melainkan menuai polemik bukan hanya dikalangan mahasiswa itu sendiri, juga dikalangan pegiat hak asasi manusia dan pengamat kebijakan publik.
Dan apabila narasi “nasionalisme” atau “cinta tanah air” yang dikumandangkan, bagi penulis, ini adalah cerita lama yang dikemas dengan bentuk yang berbeda. Dan tidak mengubah substansi cerita sama sekali. Karena apabila kita mencoba merelevansikan program tersebut dengan dunia kampus saat ini, jika sekedar untuk membangkitkan kecintaan mahasiswa terhadap negara, mengapa harus program militeristik yang dikedepankan?
Bagi penulis sejatinya kampus telah menyediakan ruang semacam itu, ruang yang dapat membentuk karakter mahasiswa agar tetap cinta terhadap tanah air, yakni melalui program pembelajaran (mata kuliah) di kampus. Seperti pendidikan kewarganegaraan bagi setiap mahasiswa.
Tidak dapat dimungkiri bahwa diskusi mengenai negara (sejarah, politik, hukum, ekonomi, dll) di dalam ruang lingkup kampus lebih dialektis dibandingkan dengan tempat lain. Di sisi lain juga terdapat perbedaan kultur pendidikan di kampus dengan militer, di mana pendidikan militer menjunjung tinggi yang namanya hirarki, dan senioritasnya lebih alay dibandingkan senioritas yang ada di kampus pada umumnya.
Hal semacam ini menuntup kemungkinan adanya dialektika dalam pembicaraan di kampus, dikarenakan ada rasa enggan untuk membantah dalil teman diskusi, apabila teman tersebut adalah seorang senior.
Perbedaan lain juga terdapat pada sistem belajarnya. Pendidikan yang sifatnya militeristik pasti mengedepankan ketahanan fisik dan mental, dan penampilan ala militer. Tentu hal semacam ini akan terasa aneh bila diterapkan di kampus.
Melihat sekelumit persoalan dan perbedaan mendasar sistem pendidikan di kampus dengan pendidikan meliter, penulis beranggapan bahwa tidak ada urgensi sama sekali diterapkannya program pendidikan militer bagi mahasiswa.
Ditambah lagi tidak ada ancaman militer baik yang datang dari luar maupun dari dalam negeri, yang membuat mayoritas kaum rebahan seperti mahasiswa harus bangun dari mimpi untuk mengangkat senjata.
Persetan dengan Bela Negara
Pernyataan tersebut penulis sampaikan karena sejujurnya penulis mulai kehilangan asa terhadap janji-janji usang penguasa. Sehingga penulis merasa, diperlukan cara yang radikal untuk mengucapkan apa yang ada dalam pikiran, tentang bobroknya moral kebangsaan kita, terlebih lagi para pemangku kebijakan yang acap kali moralnya hanya di bibir, membuat harapan itu semakin pekat.
Maka kita tidak bisa menyalahkan apabila banyak orang yang kemudian pesimis akan hidupnya bisa sejahtera di masa yang akan datang. Karena kita dilatih hidup untuk uang, nasib kita kini dan nanti kemungkinan besar ditentukan ada atau tidaknya modal dalam saku.
Karena itu berkaitan dengan apa yang akan kita rasakan kelak, jangankan membuka usaha atau bekerja, untuk mendapatkan akses pendidikan pun ditentukan oleh berapa jumlah uang yang ada di bawah kasur ibu, atau di dalam saku ayah.
Setiap individu bergelut dengan persoalannya masing-masing, maka tidak heran banyak orang yang beranggapan: jangankan memikirkan negara, memikirkan perut saja sudah susah. Memang terkesan remeh, namun bagaimana mungkin kita bisa hidup bahagia kalau kebutuhan dasar hidup kita sebgai manusia saja susah untuk kita cukupi.
Tentu hal di atas erat kaitannya dengan kerja-kerja negara, karena mau tidak mau, negara diperintahkan oleh konstitusi untuk menyelenggarakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, bukan keadilan sosial untuk segelintir orang. Maka secara sosial kita dapat melihat bahwa terjadi ketimpangan yang luar biasa, yang mana ketimpangan ini tidak akan dapat diselesaikan melalui program bela negara di kampus.
Maka karena negaralah yang diperintahkan oleh konstitusi untuk memberikan keadilan kepada masyarakat, dan tidak elok rasanya apabila negara menanyakan kepada masyarakat, apa yang bisa diberikan masyarakat kepada negara. Baik pemberian itu berupa kontribusi melalui sikap bela negara sekalipun.
Bagi penulis kecintaan terhadap negara itu sebenarnya sudah kita lakukan dalam tindakan sehari-hari, seperti mahasiswa dan pelajar mereka mencintai negara dengan cara belajar dan melakukan penelitian, wartawan dengan cara menyebarkan berita, seniman dengan cara melukis, bernyanyi, aktivis dan akademisi dengan cara mengontrol kebijakan negara, dan profesi-profesi lainya yang dikerjakan dengan penuh rasa cinta, yang dimana kecintaan terhadap profesi itulah wujud cinta sesungguhnya terhadap negara.