Halo Henri Silalahi, saya sering melihat di Lampu Merah, anak diajak orang tua nya mengemis, bahkan ada yang didandani jadi badut, dan ada juga anak yang pernah saya tanya kenapa melakukan demikian, si anak tersebut mengatakan kalau dia dipaksa orang tua nya, bagaimana perlindungan hukum bagi si anak tersebut?
Jawaban:
Secara umum seseorang dapat disebut sebagai pekerja haruslah memenuhi unsur “orang yang melakukan suatu pekerjaan”, “adanya upah” dan “adanya perintah”. Dalam konteks hukum ketenagakerjaan, istilah pekerja sering digunakan untuk merujuk pada status seseorang yang bekerja berdasarkan adanya perjanjian kerja yang sah atau atau hubungan kerja yang diakui secara hukum. Perjanjian kerja yang dimaksud dapat dilakukan secara lisan maupun tertulis.
Berdasarkan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) dijelaskan “Pekerja atau buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Adanya unsur “bekerja”, “dengan menerima upah” atau “imbalan” dalam ketentuan tersebut secara umum orang tersebut dapat diasosiasikan sebagai pekerja. Yang mana pekerja dalam hal melakukan pekerjaannya disebut sebagai “tenaga kerja”, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 angka 2 UU No. 3 Tahun 2003 bahwa “Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Pada umumnya pekerjaan dapat dilakukan apabila adanya perjanjian kerja, baik perjanjian yang dibuat secara tertulis maupun lisan. Sehingga apabila merujuk pada adanya perjanjian sehingga dapat disebut ada relasi “pekerja” dan “pemberi kerja”, maka bagi pekerja penting untuk dipenuhi unsur cakap sebagaimana diatur Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan yang pada pokoknya mengatur:
“Perjanjian kerja dibuat atas dasar : a) Kesepakatan kedua belah pihak; b) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum; c) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan d) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang undangan yang berlaku”.
Dalam ketentuan tersebut ditekankan mengenai kecakapan seseorang apabila hendak melakukan hubungan kerja, sehingga perlu untuk dipastikan lebih lanjut syarat cakap bagi anak apabila hendak melakukan suatu pekerjaan yang sah di mata hukum. UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa anak adalah orang yang belum berumur 18 tahun. Maka apabila status Pekerja hanya merujuk pada ketentuan sebagaimana Pasal 1 angka 3 dan Pasal 1 angka 15 UU Ketenagakerjaan bisa saja anak telah memenuhi unsur tersebut, karena dia adalah “orang”, “memiliki upah” dan/atau “bekerja dengan adanya perintah”, tapi tidak layak disebut sebagai pekerja karena belum cakap secara hukum.
Namun UU Ketenagakerjaan memberikan pengecualian terhadap anak yang bisa di pekerjaan. Anak punya hak untuk dipekerjakan apabila memenuhi syarat sebagaimana diatur Pasal 69 ayat (1) UU Ketenagakerjaa bahwa:
“Anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial”.
Dalam Pasal 69 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memenuhi persyaratan:
- Izin tertulis dari orang tua atau wali;
- Perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
- Waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
- Dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
- Keselamatan dan kesehatan kerja;
- Adanya hubungan kerja yang jelas; dan
- Menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Namun ketentuan ayat (2) huruf a, b, f, dan g dikecualikan bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya. Lalu jika anak dipekerjakan sebagai badut dan/atau pengemis di pinggir jalan, bagaimana ketentuan hukumnya?
Selain diatur dalam UU Ketenagakerjaan, hak-hak anak yang bekerja juga secara spesifik diatur dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak beserta perubahannya. Pasal 64 UU N0. 39 Tahun 1999 pada pokoknya mengatur bahwa:
“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya”.
Di sisi lain, berbagai studi dan laporan dari organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Organisasi Buruh Internasional (ILO), UNICEF, Human Rights Watch, dan organisasi non-pemerintah lainnya yang fokus pada hak anak dan penghapusan eksploitasi anak merumuskan beberapa bentuk eksploitasi ekonomi terhadap anak, sebagai berikut:
- Kerja Paksa: Memaksa anak-anak untuk bekerja dalam kondisi yang tidak aman, tidak sehat, atau tidak pantas untuk usia mereka.
- Upah Rendah atau Tidak Dibayar: Mempekerjakan anak-anak dengan upah yang tidak layak atau bahkan tanpa bayaran.
- Jam Kerja Berlebihan: Memaksakan jam kerja yang berlebihan bagi anak-anak, yang dapat mengganggu pendidikan dan kesehatan mereka.
- Eksploitasi dalam Industri Tertentu: Seperti pertambangan, produksi pakaian, atau pertanian, di mana anak-anak sering dieksploitasi karena tenaga kerja murah dan kurangnya perlindungan hukum.
- Perdagangan Anak: Membawa anak-anak untuk diperdagangkan, seperti dalam perdagangan seksual atau perdagangan organ.
- Pekerjaan Berbahaya: Mempekerjakan anak-anak dalam pekerjaan yang berbahaya dan merugikan kesehatan mereka.
Sehingga merujuk pada ketentuan Pasal 69 UU Ketenagakerjaan Jo. Pasal 64 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, baik orang tua/wali termasuk pemerintahan diberikan kewajiban untuk melakukan perlindungan dan pemenuhan terhadap hak-hak anak. Perlindungan tersebut spesifik terkait juga dengan kualifikasi kesehatan mental, fisik dan kecakapan anak.
Bagi anak yang dipekerjakan untuk menjadi badut dan/atau pengemis jelas melanggar ketentuan Pasal 69 UU Ketenagakerjaan Jo. Pasal 64 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemerintah dalam hal ini dinas sosial dan/atau penyelenggara perlindungan anak wajib untuk melakukan monitoring jangan sampai anak dieksploitasi secara ekonomi oleh pihak-pihak tertentu.