Danau Toba kini dijadikan sebagai Kawasan Strategis Nasional melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 tentang Rencana Tata Ruang Nasional. Kebijakan ini berimplikasi praktis pada pembangunan infrastruktur dan pengembangan pariwisata di sekitar Danau Toba. Melalui Badan Otorita Parawisata Danau Toba (BPODT), pemerintah pusat menyiapkan lahan zona otoritas seluas 500 Ha lebih guna mengakomodasi ambisi pemerintah untuk menjadikan Danau Toba sebagai wisata super prioritas.
Dalam kurun waktu enam tahun, Danau Toba kini menjelma menjadi daerah dengan pembangunan yang “terlihat” masif dan eksesif. Namun, setelah diamati lebih jauh, watak pembangunan di Danau Toba sejatinya mengarah pada pembagunan yang eksploitatif. Hal ini terlihat dari maraknya konflik agraria, konflik adat, dan pencemaran lingkungan hidup akibat operasi perusahaan pencemar lingkungan serta adanya kebijakan berwatak oligarkis.
Beberapa konflik tersebut kian terakumulasi dan mengakibatkan tereduksinya kearifan lokal. Hilangnya hak penguasaan atas tanah adat dan memudarnya tradisi penghormatan terhadap kearifan hutan dan Danau Toba adalah hal yang tak terelakkan.
Berdasarkan data yang dirilis Perhimpunan Bantuan Hukum dan Advokasi Sumatera Utara (Bakumsu) hingga saat ini terdapat 93 masyarakat adat yang diproses hukum dan 39 di antaranya dipenjara. Kriminalisasi masyarakat adat tersebut menambah daftar panjang “kepalan tangan” yang berakhir di dalam tahanan. Padahal, apabila ditinjau dari aspek konstitusi dan penyelenggaraan reformasi agraria, keberadaan masyarakat adat diletakkan sebagai entitas yang wajib dilindungi dan dihormati oleh negara dan pemerintah.
Dari aspek lingkungan hidup misalnya, Siti Nurbaya (Menteri Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) pada 2016 silam menyampaikan bahwa Danau Toba menjadi tempat dibuangnya limbah oleh beberapa perusahaan dan masayarakat lokal. Hal tersebut disampaikan Ibu Menteri dalam Rakor Tindak Lanjut Badan Otorita Pengelolaan Kawasan Parawisata Danau Toba di IT Del Laguboti, Toba Samosir, Sumatera Utara.
Menteri KLHK menyampaikan terdapat 262 ton sampah per hari yang dibuang ke Danau Toba. Dalam agenda tersebut Menteri KLHK menekankan bahwa pencemaran lingkungan akut di Danau Toba setidaknya disebabkan oleh dua hal, yakni oleh perusahaan peternak ikan dan masyarakat setempat.
Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan Sumatera Utara (KontraS Sumut) pada September 2020 merilis data bahwa terdapat 30 titik konflik agraria yang terjadi di Sumut. Beberapa konflik tersebut terjadi di desa-desa yang ada di sekitar Danau Toba. Konflik tanah Ulayat di Desa Sigapiton dan di Desa Sihaporas, penggusuran kios pedagang di Parapat, pembalakan Hutan Tele, limbah perusahaan-perusahaan yang dibuang ke Danau Toba adalah sedikit contoh dari banyaknya konflik lahan, agraria, dan lingkungan yang tampak di sekitar Danau Toba. Apabila konflik tersebut dibiarkan dan terus terjadi maka akan berdampak pada mencuatnya ketimpangan relasi sosial ekonomi masyarakat dengan pemangku kepentingan pembangunan (oligarki lokal-nasional).
Berbicara tentang lingkungan hidup, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup pada dasarnya telah memberikan penegasan bahwa ‘lingkungan hidup’ itu bukan sekedar air dan hutan saja melainkan kesatuan ruang dengan semua benda, daya keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang memengaruhi keberlangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Namun, substansi pengaturan tersebut tidak tampak pada paradigma pembanguan di danau toba.
Dalam beberapa tahun ke depan dapat dirediksi bahwa danau toba akan berkutat pada pengkotomian. Dikotomi antara pembangunan atau penggusuran, antara mempertahankan perusahaan pencemar lingkungan atau pengangguran. Dikotomi ini bisa saja menjadi siklus dilematis dan tak berkesudahan apabila pemerintah tidak kunjung mengambil kebijakan alternatif yang pro terhadap masyarakat umum.
Carl V. Patton dan David S. Sawicki dalam bukunya yang berjudul Basic Methodis of Policy and Planing menjelaskan bahwa ketika pembuat kebijakan (policy makers) menghadapi masalah, terutama yang bersifat terstruktur, maka pemerintah dituntut untuk mengembangkan berbagai kebijakan alternatif untuk sampai pada pilihan kebijakan yang tepat. Salah satu kebijakan alternatif yang dapat ditawarkan adalah pemerintah mengambil kebijakan yang tidak berwatak oligarkis dan memperbanyak peraturan daerah yang ditujukan untuk melindungi masyarakat lokal, mendorong UMKM berbasis lingkungan dan kebijakan yang bisa melestarikan kearifan-kearifan lokal.
Apakah kehadiran BPODT dan investasi sudah menjadi pilihan kebijakan yang tepat bagi masyarakat Danau Toba? Melihat beberapa konflik di atas sesungguhnya sulit mengatakan bahwa pembangunan parawisata di Danau Toba akan menunjukkan kemajuan, mengingat yang diuntungkan akibat pembangunan tersebut hanyalah segelintir pemodal dan penguasa lokal.
Danau Toba di Antara Warisan dan Jualan
Pada 2020 silam ada satu headline berita tentang Danau Toba yang cukup menarik. Headline berita tersebut dimuat di media CNBC Indonesia edisi 19 Desember 2020 dengan judul “Luhut ‘jualan’ Wisata Danau Toba ke Para Tamu Asal China”.
Pada 2019 Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) mencatat China sebagai negara yang menanamkan investasi terbesar di Indonesia sepanjang triwulan IVtahun 2019 dengan nilai sebesar US$ 1,4 miliar atau 20,4 persen dari seluruh investasi yang masuk ke Indonesia. Investasi tersebut kemudian pada semester I tahun 2020 meningkat 9 persen menjadi US$ 2,4 miliar.
Danau toba sendiri melalui BPODT pada tahun 2019 telah menandatangani nota kesepahaman untuk komitmen investasi di lahan zona otorita danau toba dengan total nilai investasi dari tujuh MoU adalah sekitar Rp 6,1 Triliun. Dan pada akhir tahun 2020 Menteri Bidang Kemaritiman dan Ivestasi (Marves) menyampaikan bahwa investor China sudah masuk di beberapa proyek dan masih akan menanamkan modalnya di kawasan Danau Toba. (Kompas.com 19/12/2020).
Lalu adakah masalahnya jika investasi besar-besaran diundang masuk ke Danau Toba? Belajar dari beberapa daerah wisata yang menerima investasi besar-besaran tanpa memperhatikan kondisi masyarakat lokal (pendidikan, kearifan lokal, kebudayaan dan lingkungan), justru mendatangkan masalah baru.
Sebagai contoh, ambisi pemerintah pusat dan pemerintah daerah NTT bersama dengan pemodal (investor) yang mengubah Taman Nasioal Komodo menjadi wisata Jurassic Park berimplikasi pada penggusuran masyarakat yang tinggal di Pulau Komodo. Belum lagi garis pantai dibeberapa pulau kecil di NTT telah ‘dikuasai’ oleh kavling-kavling tanah (non masyarakat lokal) yang memiliki uang.
Pertanyaannya adalah apakah Danau Toba akan mengalami hal serupa seperti yang diuraikan di atas? Melihat beberapa konflik agraria dan lingkungan yang telah dijelaskan di awal, muara pembangunan di Danau Toba jelas mengarah kesana.
Memang pada prinsipnya pembangunan adalah hal yang niscaya, namun terkait dengan pembangunan kawasan parawisata di Danau Toba, tidak lengkap rasanya kalau tidak membangun terlebih dahulu Sumber Daya Manusia (SDM), serta melestarikan warisan budaya lokal seperti Tor-tor, Rumah Bolon, pesta Tao Toba dan tradisi lainya. Melestarikan Rumah Bolon, tarian lokal (Tor-tor), kebudayaan sampai pelestarian lingkungan hidup yang sehat adalah pekerjaan yang tidak kalah penting dari sekedar membangun jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Kerena dengan ‘pembangunan dan pelestarian’ semacam itu, stabilitas pembangunan kawasan di Danau Toba dapat tercapai dan tidak saling mendahului, melainkan saling menyeselaraskan satu sama lain.
Robert J. Kodoatie dalam bukunya yang berjudul Pengantar Manajemen Infrastruktur menyatakan bahwa infrastruktur lahir sebagai sistem sosial dan ekonomi yang sekaligus menjadi penghubung pembangunan dengan sistem lingkungan. Secara konseptual pikiran tersebut dapat menjadi bagian dari kerangka alternatif penyelesaian beberapa permasalahan pembangunan di Danau Toba. Kita harus berani beranjak dari paradigma lama yang mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur adalah jalan satu-satunya mengejar pertumbuhan ekonomi di sektor parawisata.
Bagi penulis, pembangungan infrastruktur sebenarnya tidak jauh lebih penting dari pembangunan sumber daya manusia, tidak pula jauh lebih penting dari pembangunan berkelanjutan, sehingga keduanya wajib ditempatkan di wadah yang sama. Eksploitasi hutan dan sumber daya alam termasuk membuka jalan lebar bagi kaum kapitalis Jakarta ke Danau Toba akan memberikan dampak kronis dan munculnya hutang-hutang ekologis pada generasi mendatang karena kerusakan ekosistem lingkungan.