Danau Toba, Otoritas Adat, Pemerintah dan Bla…Bla…Bla

Sebelum menyelami lebih dalam tentang apa yang indah dan tidak dari Danau Toba, saya hendak mengajak pembaca mengingat-ingat kembali catatan sejarah bagaimana danau yang disebut kepingan surga ini bisa terbentuk dan menghasilkan panorama sebegitu indah.

Tentu ‘indah’ yang saya maksud tidak sebatas pada hamparan danau yang enak dipandang, atau ‘indah’ karena kejernihan airnya (setidaknya dulu begitu). Melainkan ‘indah’ yang dimaksud merujuk pada pengertian lain, yakni ‘indah’ dalam pandangan sejarah, dimana terdapat maha karya alam yang membentuk Danau Toba, lewat letusan gunung purba yang bernama Toba.

Letusan tersebut terjadi sekitar 74 ribu tahun yang lalu, dan ini yang terbesar setelah beberapa kali terjadi letusan. Berbagai hasil penelitian mengungkap bahwa Gunung Toba melepaskan sekitar 2.800 kilometer kubik material yang menyebar ke hampir seluruh atmosfer. Dimana 800 kilometer kubik merupakan material larva dan 2000 kilometer sisanya adalah abu vulkanik.

Beberapa ahli mengungkapkan bahwa batuan atau material lain hasil erupsi Gunung Toba tersebar ke berbagai belahan bumi, hal ini terkonfirmasi lewat beberapa batu dan material yang ditemukan di Greenland, India, Teluk Benggali, Laut China Selatan hingga Afrika Selatan.

Tak sampai di situ, antropolog Stanley Ambrose dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Journal of Human Evolution” menyimpulkan, bahwa letusan Gunung Toba berdampak pada menurunnya populasi manusia secara signifikan, penurunan ini terjadi sangat drastis hingga hanya 2 ribu sampai dengan 20 ribu manusia yang bisa bertahan hidup.

Relevan dengan penelitian Stanley tersebut, Awang H. Satya, dan kawan-kawan dalam jurnal yang berjudul “Supererupsi Toba 74.000 Tahun yang Lalu: Katastrofi Geologi dan Kepunahan Massa” juga menjelaskan, pasca katastrofi geologi yang memicu perubahan iklim secara ekstrim pada puluhan ribu tahun silam telah mereduksi evolusi dan migrasi manusia (genetic bottlenecking), serta membunuh 90 % populasi manusia yang menyebabkan kepunahan massal.

Namun siapa sangka, gunung yang ‘membunuh’ hampir seluruh populasi makhluk hidup itu menjelma menjadi panorama yang sangat indah.

Maka apabila dilakukan dekonstruksi terhadap pemahaman umum tentang apa yang indah dari Danau Toba, bisalah dikemukakan argumentasi bahwa yang indah tidak lagi semata terletak pada apa yang dilihat oleh mata atau didengar telinga, melainkan juga tentang apa yang ditulis oleh sejarah. Dan sejarah menulis alamlah yang berkarya, bukan manusia.

Maka sejatinya alam telah mendahului keberadaan, pemahaman, juga pengetahuan manusia perihal apa yang layak atau tidak untuk Danau Toba.

Namun keadaan ini menyisakan pertanyaan. Mengapa manusia saat ini merasa paling tahu tentang apa yang layak atau tidak untuk Danau Toba? Dan mengapa pemahaman kontemporer tentang ilmu pengetahuan (khususnya bidang pariwisata dan industri) tidak memberikan dampak kelestarian lingkungan, melainkan pengerusakan secara masif? Hanya mereka yang peduli yang akan mencari jawabannya.

Dikepung Jargon Pembangunan?

Sebelum mengurai maraknya jargon pembangunan yang memberi dampak hegemonik bagi kesadaran masyarakat lokal, ada baiknya membicarakan lebih dulu nilai kebudayaan yang kian luntur akibat tidak terfilternya pengaruh globalisasi.

Hal ini penting, sebab kedua hipotesis tersebut bermuara pada tujuan yang sama, yakni terciptanya Danau Toba sebagai kawasan akumulasi kapital baru, yang berdampak pada pengikisan kebudayaan, kerusakan lingkungan dan pengabaian hak-hak masyarakat lokal.

Globalisasi sebagai proses dimana dunia menyatu tanpa batas terbukti telah melanggengkan proses akulturasi di kawasan Danau Toba. Secara teoritik, akulturasi terjadi apabila dua atau lebih kebudayaan bertemu dan saling mempengaruhi, namun dalam konteks ini, pengaruh budaya luar lah yang lebih mendominasi dibanding budaya lokal. Saya rasa tidak perlu menguraikan hasil studi empirik untuk melegitimasi argumentasi ini, sebab memang itulah yang terjadi.

Tradisi turun temurun yang menempatkan hutan dan danau layaknya ibu yang harus dirawat (melalui prosesi kebudayaan) kini kian terkikis, begitu pula terlihat dari berkurangnya jumlah rumah adat (rumah bolon), memudarnya penggunaan bahasa batak, hingga kurikulum pendidikan yang tidak lagi mengajarkan kebudayaan lokal. Sedihnya lagi, otoritas adat kini tidak lagi memiliki determinasi untuk menentukan arah pembangunan kawasan.

Diakui atau tidak, kini kita lebih banyak tunduk pada keputusan positif pemerintah (melalui peraturan perundangan), seolah pemerintah yang lebih tahu apa yang baik atau tidak untuk Danau Toba. Padahal dalam beberapa momentum pengambilan kebijakan, partisipasi masyarakat justru dibatasi sehingga sulit untuk mengatakan bahwa kebijakan pembangunan kawasan danau toba representatif untuk kepentingan masyarakat atau tidak.

Dan dampaknya? Kita bisa lihat, pencemaran lingkungan, maraknya konflik lahan (tanah ulayat), kriminalisasi, penggusuran, dan bentuk perampasan ruang hidup lainnya. Kondisi seperti ini tentu memprihatinkan, padahal Danau Toba dan masyarakat adat ‘ada’ jauh sebelum pemerintah ada.

Di sisi lain kita menghadapi masalah yang tak kalah akut. Banyak anggapan yang menyatakan bahwa akar masalah dari kerusakan Danau Toba adalah eksploitasi kapitalisme yang tak terkontrol. Mungkin sebagian dari anda akan memprotes anggapan ini, tapi sebelum anda melakukannya, izinkan lebih dahulu saya mengurai argumentasinya.

Industrialisasi yang berkembang pesat di Danau Toba bisa menjadi momok yang menakutkan apabila tidak ada langkah mitigasi dampak dan revitalisasi lingkungannya. Kita ambil contoh, Menteri KLHK pada 2016 silam dalam Rakor bersama BOPDT, menyatakan bahwa Danau Toba sudah menjadi “tempat buang limbah” dari perusahaan dan masyarakat di sekitarnya, dimana terdapat 262 ton per hari, 7.781 per bulan, 95,760,4 ton per tahun limbah yang dibuang ke Danau Toba dan jumlahnya terus bertambah setiap tahun.

Padahal kami yang tinggal di kawasan Danau Toba sering mendengar ungkapan lama dari para orang tua, “najolo, boi do diminum aek ni tao on” yang berarti “dulu, air danau toba ini bisa diminum” (langsung/tidak dengan cara dimasak). Lalu apakah sekarang masih bisa? Tentu bisa kalau sekedar diminum, tapi tak dianjurkan karena tak baik untuk kesehatan Anda.

Lalu bagaimana dengan kawasan hutan di sekitar Danau Toba? Apakah mengalami kerusakan akibat industrialisasi? ini relevan ditanyakan untuk menguji hipotesis pertama.

Harus diakui, sangat sulit mengakses data terbaru berkaitan dengan kondisi kawasan hutan di sekitar Danau Toba, namun setidaknya data olahan berikut bisa memberikan gambaran kepada kita, yang mana Badan Lingkungan Hidup Sumut mencatat per 2010 silam, sisa vegetasi hutan di kawasan Danau Toba tinggal 12 % dari total sekitar 356.800 sebelumnya. Penurunan jumlah yang “sangat gila”.

Masalah ini sesungguhnya diwali dari ugal-ugalannya pemerintah daerah dalam memberikan izin konsesi hutan ke beberapa perusahaan. Misal, padal 1984, Pemda Provinsi memberikan izin ke PT. Inti Indorayon Utama (IIU) untuk melakukan penebangan pohon secara masif di sebagian besar wilayah hutan lindung. Saat ini PT IIU berubah menjadi PT Toba Pulp Lestari dan mengantongi izin seluas 188.055 hektar (dua kali lebih luas dari Kabupaten Samosir) tersebar di 13 kabupaten, dan delapan di antaranya adalah wilayah resapan air.

Komersialisasi kawasan hutan telah mengakibatkan keberulangan bencana alam seperti longsor, banjir, kemarau berkepanjangan di wilayah Danau Toba, khususnya di Kabupaten Samosir, Simalungun, Toba, Karo, Dairi dan beberapa kabupaten lainnya. Perusahaan, baik yang berada di atas danau maupun yang mengelola kawasan hutan sudah dikenakan sanksi administrasi oleh pemerintah pusat karena terbukti merusak lingkungan, namun sanksi semacam itu tidak terbukti memperbaiki keadaan.

Maka di saat pemerintah secara institusi tidak bisa hadir sebagai solusi (sebab merekalah salah satu masalahnya), maka harapan haruslah bertumpu pada masyarakat yang sadar melakukan perbaikan dan melawan dominasi perusahaan. Otoritas adat harus mengembalikan kemampuan determinasinya untuk menentukan arah pembangunan kawasan, bukan sekedar sebagai alat legitimasi kebijakan pemerintah. Dengan itu masyarakat Batak tidak lagi jadi penonton melainkan penentu pembangunan dan agen perbaikan kawasan.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Share:

More Posts

Send Us A Message

Scroll to Top
Open chat
Hello 👋
Can we help you?