Selamat malam Pak Henri Silalahi, apakah perusahaan Bus bisa dituntut apabila bus tersebut kecelakaan dan menelan korban jiwa? Terimakasih.
Jawaban:
Secara hukum, perusahaan bus dan/atau pengemudi bus tersebut bisa dimintai pertanggungjawabanh hukum.
Sebagai contoh kasus untuk menjawab pertanyaan saudara, bahwa pada 2024 silan Bus Trans Putera Fajar terlibat kecelakaan maut hingga menyebabkan belasan penumpangnya tewas di Ciater, Kabupaten Subang, Jawa Barat, Sabtu (11/5/2024). Dalam insiden ini setidaknya 11 orang dinyatakan meninggal dunia, 10 adalah penumpang Bus dan satu lagi pemotor (DetikNews).
Keberulangan kecelakan maut yang menewaskan banyak korban tentu harus menjadi perhatian kita bersama. Penegakan hukum harus tetaplah berjalan demi memberi keadilan bagi korban, walau kita tahu penegakan hukum tidak akan mengembalikan nyawa para korban. Berikut analisis hukum pertanggungjawaban perusahaan Bus jika terjadi kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa.
Kecelakaan bus yang ditumpangi pelajar SMK Lingga Kencana Depok di kawasan Ciater, Subang Jawa Barat dapat dikategorikan sebagai kecelakaan lalu lintas berat. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 229 ayat (4) Jo. Pasal 229 ayat (1) huruf c UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), yakni kecelakaan yang mengakibatkan korban meninggal dunia atau luka berat.
Pertanggungjawaban atas kerugian yang diderita korban kecelakaan berat diatur dalam Pasal 234 ayat (1) dan (2) UU LLAJ, bahwa pengemudi, pemilik kendaraan bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian pengemudi yang disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga.
Terdapat pengecualian dalam Pasal 234 ayat (3) yang menyatakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku jika: a. adanya keadaan memaksa yang tidak dapat dielakkan atau di luar kemampuan Pengemudi; b. disebabkan oleh perilaku korban sendiri atau pihak ketiga; dan/ atau c. disebabkan gerakan orang dan/atau hewan walaupun telah diambil tindakan pencegahan.
Namun untuk mengetahui apakah ada unsur pengecualian sebagaimana diatur Pasal 234 ayat (3) UU LLAJ, terlebih dahulu harus dapat dibuktikan di pengadilan. Sebab hal ini berkaitan dengan ganti kerugian terhadap korban dan/atau keluarga korban kecelakaan. Ketentuan ini dapat dilihat di Pasal 236 ayat (1) bahwa pihak yang menyebabkan terjadinya Kecelakaan Lalu Lintas wajib mengganti kerugian yang besarannya ditentukan berdasarkan putusan pengadilan.
Namun pengecualian tersebut berlaku untuk ganti kerugian, bukan untuk tuntutan pidana. Pada prinsipnya, untuk menentukan apakah pengemudi memenuhi unsur perbuatan pidana haruslah dibuktikan di persidangan terlebih dahulu.
Menurut Pasal 310 ayat (3) UU LLAJ, ancaman pidana bagi setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah).
Harus dibuktikan apakah ada unsur kelalaian dari si sopir. Mengenai apa itu kelalaian sendiri, tidak ada penjelasannya dalam UU LLAJ.
Pasal 234 ayat (1) UU LLAJ yang mengatur bahwa pengemudi, pemilik Kendaraan Bermotor, dan/atau perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh Penumpang dan/atau pemilik barang dan/atau pihak ketiga karena kelalaian Pengemudi, dapat menjadi rujukan hukum untuk menentukan siapa yang bertanggung jawab melakukan ganti rugi.
Selain itu, Pasal 235 ayat (2) UU LLAJ mengatakan bahwa pengemudi, pemilik, dan/atau perusahaan angkutan umum wajib memberikan bantuan kepada korban berupa biaya pengobatan. Sedangkan Pasal 191 UU LLAJ, mengatakan bahwa perusahaan angkutan umum bertanggung jawab atas kerugian yang diakibatkan oleh segala perbuatan orang yang dipekerjakan dalam kegiatan penyelenggaraan angkutan.