Di saat negara tidak memiliki agenda yang jelas dalam menyelenggarakan penegakan hukum di bidang hak asasi manusia, saat itu pula negara memperpanjang penantian keluarga korban pelanggaran HAM akan tibanya kebenaran dan keadilan.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM di Indonesia selalu mengalami disorientasi penegakan hukum, para pemangku kebijakan yang diberikan kewenangan oleh konstitusi dan undang-undang untuk melakukan penegakan hukum secara adil acapkali moralnya hanya di bibir.
Maka tidak heran jika agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM kerap kali dihembuskan pada saat kontestasi pemilu saja. Hal tersebut mereka (politisi dan pemangku kebijakan) lakukan hanya dalam rangka meningkatkan elektabilitas guna meraup suara konstituen dan memenangkan Pemilu.
Itulah sebabnya sampai saat ini tidak ada satupun kasus pelanggaran HAM yang dapat diselesaikan oleh negara secara berkeadilan, baik itu pelanggaran HAM yang terjadi dimasa lalu atau pun masa kini.
Secara yuridis yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM masa lalu adalah pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Beberapa kasusnya seperti Peristiwa 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1986, Pembantaian Talangsari 1989, Tragedi Rumoh Geudong di Aceh 1989-1998, Penembakan Mahasiswa Trisakti 1998, Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa 1997-1998, Tragedi Semanggi I dan II 1998-1999, dan kasus lainnya.
Sementara yang dikategorikan sebagai kasus pelanggaran HAM masa kini adalah pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Beberapa kasusnya seperti Peristiwa Wasior di Manokwari, Papua pada tahun 2001, Kasus Wamena, Papua 2003, Tragedi Jambu Keupok di Aceh Selatan 2003 dan beberapa kasus lainnya.
Menilik banyaknya kasus pelanggaran HAM di Indonesia, yang mana kalau kita pelajari kasus-kasus di atas, kita akan mengetahui bahwa para pelaku pelanggaran HAM didominasi oleh unsur negara. Jika halnya demikian, yang menjadi pertanyaan penulis adalah apakah negara pernah menginsafi perbuatannya tersebut? sepertinya tidak. Sepertinya negara tidak mengenal kata “Tobat” seperti yang saudara pembaca kenal.
Nyatanya kasus pelanggaran HAM biasa dan kasus pelanggaran HAM yang berat masih terjadi, bahkan di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo. Beliau yang muncul sebagai kontestan Pemilu pada 2014 silam bak orang polos tanpa dosa (masa lalu). Berbeda dengan lawan politiknya Prabowo Subianto yang dikenal sebagai Elite dan sarat akan dosa kejahatan terhadap HAM.
PD (percaya diri) karena tidak memiliki dosa terhadap kejahatan HAM di masa lalu, tak tanggung-tanggung sebagai wujud dari komitmen Jokowi untuk menyelesaikan kasus HAM di Indonesia, secara detail beliau menjelaskan komitmenya tersebut dalam visi dan misinya (nawa cita). Jokowi berjanji selama lima tahun memimpin Pemerintahan akan menuntaskan kasus-kasus HAM di Indonesia secara berkeadilan, seperti kerusuhan Mei 1998, Kasus Trisakti, Semanggi I dan II, Penghilangan Orang secara Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, dan Tragedi 1965.
Lagi-lagi sepertinya moral hanya di bibir, hanya dalam kurun waktu 48 hari setelah Jokowi dilantik sebagai Presiden pada 20 Oktober 2014 silam, terjadi pelanggaran HAM di Paniai Provinsi Papua tepatnya pada 7-8 Desember 2014.
Berdasarkan data yang pernah dirilis Komnas HAM, peristiwa tersebut mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal akibat luka tembak dan luka tusuk, kemudian 21 orang lainnya mengalami penganiayaan yang dilakukan oleh TNI. Dan pada 3 Februari 2020 Komnas HAM secara aklamasi menetapkan peristiwa Paniai tersebut sebagai pelanggaran HAM yang berat.
Sekilas bahwa pelanggaran HAM yang berat merupakan tindak pidana atau kejahatan yang bersifat luar biasa (extra ordinary crimes), karena tindak pidana ini dilakukan oleh suatu kekuasaan atau kelompok yang ditujukan kepada perorangan tertentu atau kelompok berdasarkan asal usul, etnik dan agama, dengan tujuan untuk menghilangkan nyawa secara sistematis atau meluas.
Dilema Penegakan Hukum dan HAM
Dalam kerangka hukum HAM internasional, negara merupakan komponen utama yang terlibat dalam proses ratifikasi perjanjian-perjanjian internasional. Oleh karenanya melekat tanggung jawab di dalamnya, bahwa negara adalah subyek yang harus melindungi, menghormati, dan memenuhi hak-hak asasi setiap warga negara.
Melindungi dapat dimaknai sebagai kewajiban negara dalam mencegah setiap bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun unsur non-negara. Menghormati dapat dimaknai sebagai tindakan negara dalam mengeluarkan regulasi atau pun kebijakan yang tidak bertentangan dengan nilai hak asasi manusia. Dan memenuhi dapat dimaknai sebagai tindakan negara dalam mengakomodir kepentingan warga negara agar hak-hak mereka tidak dirampas secara sewenang-wenang.
Memang terdapat korelasi antara tanggung jawab negara dengan kasus-kasus pelanggaran HAM. Apalagi pengaturannya secara tegas dimuat dalam Konstitusi kita tepatnya dalam pasal 28 I Ayat (4) bahwa Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.
Apabila kita menilik beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah negara coba selesaikan melalui pengadilan HAM ad hoc seperti pelanggaran HAM berat Timor Timur 1999 dan kasus tanjung Priok 1984 masih menjadi preseden buruk, karena tidak mampu menghukum para pelaku dan menghadirkan keadilan bagi keluarga korban, termasuk pemenuhan hak-hak korban.
Juga kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah dibahas di awal, yang sampai saat ini penanganannya juga belum jelas. Jika kita pelajari lebih jauh tentang cara negara menyelesaikan kasus pelanggaran HAM, kita akan menemukan bahwa sampai saat ini masih terjadi bolak balik berkas kasus pelanggaran HAM antara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung.
Bagi penulis salah satu problem penegakan hukum di bidang HAM ada di Kejaksaan Agung yang selalu mengembalikan berkas yang diberikan oleh Komnas Ham dengan alasan kurang adanya bukti. Padahal kalau kita lihat berdasar Pasal 18 Ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia dilakukan oleh Komnas HAM, maka upaya untuk menemukan peristiwa pidananya ada di tangan Komnas Ham.
Sedangkan Kejaksaan Agung berdasarkan pasal Pasal 21 Ayat (1) UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bertindak sebagai Penyidik, yang mana sebenarnya tugas penyidiklah mencari dan menemukan barang bukti, sehingga tidak ada alasan bagi Kejaksaan Agung untuk mengembalikan berkas dari Komnas Ham.
Mirisnya memang jika ada agenda penegakan hukum di bidang HAM di Indonesia, acapkali agenda tersebut dibenturkan kepada kepentingan yang sifatnya politis. Seolah-olah mengungkap kebenaran di balik kejahatan terhadap pelanggaran HAM di Indonesia adalah hal yang tabu.
Namun di atas itu semua jika melihat peraturan dan lembaga yang sudah ada, teruntuk keluarga dan korban pelanggaran HAM juga bagi orang-orang yang peduli terhadap penderitaan yang mereka alami, sesungguhnya masih banyak harapan untuk menggapai keadilan. Meski, pada akhirnya, semua berpulang pada politik hukum pemerintah (Presiden), apakah ingin menuntaskan pelanggaran HAM atau kembali mewariskannya ke generasi yang akan datang.